RUU Masyarakat Adat Terus Tertunda Meski Sudah 3 Kali Masuk Prolegnas Sejak 2009
https://leadnepal.com/ JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat telah tercatat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebanyak tiga kali. Kendati telah diusulkan sejak tahun 2009, RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan hingga saat ini. Seorang ahli hukum dan masyarakat dari Universitas Indonesia (UI), Ismala Dewi, menyatakan bahwa pengesahan RUU tersebut mendesak untuk mewujudkan keadilan dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Keadilan dan Hak Masyarakat Adat Belum Terpenuhi
Pernyataan tersebut disampaikan Ismala dalam sebuah diskusi daring pada hari Selasa (22/4/2025), sebagaimana dilaporkan oleh Antara. “Sudah 15 tahun, waktu yang sangat lama. Ini berarti keadilan untuk menjamin kepastian dan mencapai kesejahteraan masyarakat adat belum terwujud,” terang Ismala.
Sorotan pada Isu Air dan Perlindungan Hukum Adat
Secara spesifik, ia menyoroti permasalahan air yang dialami masyarakat adat akibat pembangunan, perubahan iklim, dan tekanan ekonomi terhadap hak-hak mereka. Masyarakat adat membutuhkan perlindungan dan pengakuan atas hak-haknya, termasuk atas sumber daya alam seperti air yang mereka jaga melalui penerapan hukum adat. Dalam kesempatan itu, ia menekankan pentingnya pasal-pasal dalam RUU Masyarakat Adat agar saling mendukung dan memperbaiki peraturan yang sudah ada.
“Sehingga esensi UU Masyarakat Adat menjadi lebih komprehensif, relevan, dan tidak bertentangan dengan aturan sebelumnya, bahkan dapat menyempurnakan aturan lama jika dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” jelasnya. Ia juga mendorong agar pasal yang mengatur tentang sumber daya alam dalam RUU tersebut memperhatikan prinsip pengelolaan sumber daya air berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 yang lebih jelas narasi dan lebih lengkap substansinya. Sebelumnya diberitakan, seorang akademisi dari IPB University, Rina Mardiana, menyampaikan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah perwujudan nyata dari amanat konstitusi. Hal itu diungkapkan Rina dalam diskusi publik bertajuk Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat, pada Rabu (16/4/2025). Diskusi publik yang diselenggarakan oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat tersebut menjadi wadah reflektif sekaligus strategis untuk menggali kembali makna hak-hak tradisional dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Pengakuan Hak Masyarakat Adat Bersifat Sektoral dan Lambat
Rina menjelaskan bahwa masyarakat adat adalah masyarakat autochthon yang memiliki ikatan historis dan budaya yang kuat dengan wilayah tertentu. Mereka memiliki sistem hukum, sosial, dan ekonomi yang khas, berbeda dari masyarakat di sekitarnya. “Tanpa UU ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rentan menimbulkan konflik,” ujar Rina, dikutip dari siaran pers pada Kamis (17/4/2025). Rina menambahkan bahwa masyarakat adat juga memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam secara tradisional, serta hak untuk mengatur diri sendiri. “Mereka bukan bagian atau pecahan dari negara atau kerajaan,” tegasnya.
Post Comment