Fenomena “Laki-Laki Tidak Bercerita” dan Dampaknya pada Kesehatan Mental

https://leadnepal.com/ Ungkapan “laki-laki tidak bercerita” sempat menjadi tren di media sosial pada akhir tahun 2024, diiringi berbagai meme humoris yang menggambarkan laki-laki memendam masalah. Namun, di balik humor tersebut, ada kenyataan pahit: investigasi Tim Jurnalisme Data Kompas menemukan bahwa lebih dari 1,4 juta laki-laki di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental akibat tekanan sosial. Angka ini sedikit lebih rendah dibandingkan perempuan, yang mencapai 1,48 juta jiwa.
Data Mengejutkan: Jutaan Laki-Laki Mengalami Gangguan Mental
Dikutip dari Kompas.id (13/8/2024), data ini berasal dari pengolahan mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022. Menariknya, jika dianalisis berdasarkan aktivitas dominan sehari-hari, jumlah laki-laki penganggur, pekerja, dan pelajar yang mengaku mengalami gangguan mental justru lebih tinggi daripada perempuan di kategori yang sama.
Secara rinci, laki-laki yang mengaku mengalami gangguan kesehatan mental dan berstatus penganggur mencapai 417.681 orang, pekerja 511.073 orang, dan pelajar 59.537 orang. Sementara itu, perempuan dengan kondisi serupa masing-masing berjumlah 375.146 orang (penganggur), 210.261 orang (pekerja), dan 48.038 orang (pelajar).
Hasil analisis data mikro Survei Angkatan Kerja Nasional 2022 juga menunjukkan bahwa 58 persen atau setara dengan 388.062 laki-laki pekerja mengaku mengalami kesulitan dalam mengingat, konsentrasi, dan mengurus diri, yang merupakan indikator gangguan mental.
Lantas, mengapa laki-laki sering kali memendam masalah mereka hingga berujung pada gangguan mental?
Akar Masalah: Mengapa Laki-Laki Cenderung Memendam Perasaan?
Psikolog dari Ibunda.id, Danti Wulan Manunggal, menjelaskan bahwa mayoritas laki-laki memang tidak mudah mengungkapkan perasaannya dan cenderung menyimpannya sendiri. “Ada harapan-harapan atau doktrin yang berasal dari norma-norma yang membatasi seputar maskulinitas, seperti kebutuhan untuk tampil kuat, tanpa emosi, atau memegang kendali,” kata Danti kepada Kompas.com, Kamis (26/6/2025).
Menurut Danti, fenomena ini erat kaitannya dengan toxic masculinity, yaitu nilai-nilai yang menuntut pria untuk selalu kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Padahal, data menunjukkan bahwa stigma “laki-laki harus kuat dan tidak boleh menangis” justru menjadi beban emosional dan merusak kesehatan mental mereka.
Gangguan kesehatan mental sejatinya dapat menyerang siapa saja. Namun, Danti mengakui bahwa laki-laki memiliki kerentanan yang berbeda, dan seringkali lebih sulit dideteksi serta ditangani saat mengalami gangguan mental. “Laki-laki cenderung menghadapi tekanan sosial untuk selalu kuat dan mandiri, yang dapat menghalangi mereka untuk mencari bantuan dan mengekspresikan emosi,” terangnya.
Beberapa laki-laki juga tumbuh dalam pola asuh yang tidak mendorong ekspresi emosi. Hal ini menimbulkan ketakutan akan penghakiman atau dianggap tidak mampu jika mereka mengutarakan masalah. Akibatnya, masalah kesehatan mental pada laki-laki sering terabaikan dan memburuk seiring waktu. “Banyak laki-laki yang menderita dalam diam, percaya bahwa mereka harus mengatasi masalah mereka sendiri,” ujar Danti.
Sebagai coping mechanism atau strategi mengatasi stres, beberapa laki-laki memilih untuk menggunakan alkohol, obat-obatan terlarang, atau perilaku agresif. Namun, pilihan coping mechanism yang tidak sehat ini justru akan memperburuk situasi dan kondisi mental laki-laki.
Post Comment