Banjir di Bali Jadi Alarm Evaluasi Tata Ruang
Tata Kota Bali Disorot
https://leadnepal.com/ JAKARTA – Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di Bali pada awal September 2025 memunculkan kritik terhadap tata ruang pulau tersebut. Pengamat tata kota, Yayat Supriatna, menilai persoalan banjir tidak terlepas dari tarik-menarik kepentingan antara ruang untuk manusia dan ruang untuk air.
“Sesungguhnya ada konflik antara kebutuhan tata ruang bagi manusia dan tata ruang bagi air. Nah, yang untuk manusia ini sudah terlalu mendominasi,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (12/9/2025).
Krisis Ruang Resapan
Menurut Yayat, masifnya pembangunan perumahan, hotel, hingga kawasan perdagangan telah menggerus ruang terbuka hijau. Padahal, Bali sejak lama dikenal memiliki aturan tata ruang yang berbasis adat dan nilai agama. Namun, masuknya investasi besar membuat aturan tersebut perlahan bergeser.
Ia menekankan bahwa masalah utama saat ini adalah berkurangnya area resapan air. Akibatnya, air hujan sulit terserap dan meluber ke jalan-jalan.
“Ruang terbuka hijau berkurang, sawah dan kebun makin sempit. Hasilnya, kita menghadapi krisis resapan air,” jelas Yayat.
Selain itu, kapasitas drainase kota yang kecil dan kurang terawat semakin memperburuk kondisi. Hujan ekstrem yang dulunya muncul dalam siklus puluhan tahun kini datang lebih sering, sementara infrastruktur belum mampu menampung volume air.
“Drainase di Bali banyak yang belum berubah, dimensinya kecil, ditambah penyempitan akibat pembangunan baru. Akhirnya, jalan berubah jadi sungai dadakan,” katanya.
Evaluasi Tata Ruang Mendesak
Yayat menekankan pentingnya evaluasi besar terhadap tata ruang di Bali. Pemerintah, menurutnya, perlu menyeimbangkan kembali alokasi ruang untuk manusia dan ruang untuk air.
“Kolam retensi hilang, waduk berkurang, resapan menghilang. Kalau terus begini, banjir besar akan semakin sering terjadi,” ujarnya.
Di sisi lain, aturan adat Bali yang melarang pembangunan gedung tinggi juga membuat lahan cepat habis karena hampir semua bangunan berbentuk rumah tapak. “Kalau semua landed house, kapasitas daya tampung lahan semakin berkurang, sementara kebutuhan ruang makin besar,” tambahnya.
Solusi Jangka Pendek
Meski perbaikan tata ruang butuh waktu lama, Yayat menilai langkah cepat tetap harus dilakukan. Ia mendorong pemerintah segera memperbaiki permukiman dan infrastruktur yang rusak akibat banjir.
“Pertama, rehabilitasi rumah warga yang hancur. Kedua, pulihkan infrastruktur transportasi dan mobilitas,” ucapnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dan dunia usaha dalam pemulihan lingkungan. Gotong royong, menurut Yayat, bisa menjadi kunci, mulai dari membersihkan sampah, memperbaiki gorong-gorong, hingga membangun kembali fasilitas yang rusak.
“Daripada sibuk mencari siapa yang salah, lebih baik bersama-sama membenahi tata kota dan memperkuat infrastruktur agar Bali siap menghadapi hujan ekstrem berikutnya,” tutupnya.
Post Comment