Ini Kretia Gedung Pesantren Yang Akan Diperbaiki Pemerintah

Pendahuluan: Tragedi sebagai Peringatan

Kabar runtuhnya sebagian gedung musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, telah mengguncang publik. Gedung yang berusia lebih dari 125 tahun itu roboh dan menyebabkan korban jiwa serta luka-luka. Kejadian ini membuka mata bahwa banyak pesantren di Indonesia memiliki bangunan tua dan rawan struktur yang rentan terhadap bencana atau keausan waktu.

Sebagai respons, pemerintah menyatakan akan audit, verifikasi, dan prioritas perbaikan ulang untuk pesantren-pesantren dengan kondisi gedung berisiko tinggi.

Namun, agar proses perbaikan benar-benar tepat guna dan aman, diperlukan kriteria gedung pesantren yang akan diperbaiki — agar anggaran tidak mubazir dan keselamatan santri terjamin.


Mengapa Kriteria Itu Penting

  1. Efisiensi Anggaran
    Dengan dana terbatas, pemerintah harus memprioritaskan bangunan yang paling butuh dan paling berisiko. Tanpa kriteria jelas, perbaikan bisa salah sasaran.

  2. Keselamatan & Kelayakan Bangunan
    Kriteria teknis memastikan bahwa struktur bangunan setelah diperbaiki memenuhi standar keamanan yang memadai agar tragedi serupa tidak terulang.

  3. Transparansi & Akuntabilitas
    Kriteria yang jelas membantu pengawasan publik dan meminimalisir potensi korupsi atau penyimpangan.

  4. Keberlanjutan & Pemeliharaan
    Gedung yang diperbaiki tapi tidak dirawat akan kembali memburuk. Kriteria harus memasukkan aspek pemeliharaan jangka panjang.


Dasar Kebijakan & Regulasi yang Relevan

  • Banyak pesantren selama ini dibangun “gotong royong” tanpa izin formal atau pengawasan teknis memadai. Kementerian Agama mengakui bahwa sejumlah pesantren dibangun tanpa prosedur formal.

  • Menteri PU menyatakan bahwa pembangunan kembali Ponpes Al Khoziny harus memperoleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), agar proses konstruksi legal dan aman.

  • Dewan legislatif mendesak agar pemerintah melakukan audit menyeluruh keamanan bangunan pesantren dan menyusun program sertifikasi kelayakan fungsi khusus lembaga pendidikan keagamaan.

  • Pemerintah juga berencana memprioritaskan audit ponpes yang usianya di atas 100 tahun dan yang berada dalam kondisi “rawan”.

Berdasarkan kondisi di lapangan dan regulasi tersebut, maka kriteria teknis dan non-teknis dapat dirumuskan.


Kriteria Utama Gedung Pesantren yang Perlu Diperbaiki

Berikut daftar kriteria yang bisa dijadikan acuan seleksi gedung pesantren untuk diperbaiki atau dibangun ulang:

A. Kriteria Usia & Riwayat Bangunan

  • Gedung berusia sangat tua, terutama di atas 100 tahun menjadi prioritas audit.

  • Bangunan yang belum pernah direnovasi besar sejak dibangun atau memiliki jejak kerusakan struktural lama.

  • Riwayat peristiwa keretakan, rembesan, atau gempa ringan yang pernah mengganggu struktur.

B. Kondisi Fisik & Struktur

  • Terdapat keretakan signifikan di dinding, kolom, balok, atau sambungan.

  • Lantai, atap, atau fondasi menunjukkan deformasi, penurunan (settlement), atau melengkung.

  • Bukti rembesan, jamur, kebocoran, atau kebocoran air yang bisa melemahkan material.

  • Material konstruksi yang sudah lapuk (misalnya kayu tua, batu bata retak, beton yang terkelupas).

  • Ketidaksesuaian antara desain awal dan kondisi nyata (modifikasi tanpa perhitungkan struktur).

C. Lokasi & Risiko Lingkungan

  • Bangunan berada di daerah rawan bencana: gempa, banjir, tanah labil, longsor.

  • Terkena intensitas cuaca ekstrem: hujan lebat, kelembapan tinggi, atau angin kencang.

  • Drainase sekitar yang buruk sehingga air menggenang di sekitar pondasi atau dinding kaki bangunan.

D. Kepemilikan & Legalitas

  • Bangunan yang belum memiliki izin resmi atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Menteri PU mengingatkan pentingnya PBG untuk konstruksi ulang.

  • Status kepemilikan lahan jelas, atau ada dokumen legal yang sah.

  • Tidak ada sengketa tanah atau hak atas tanah yang dapat menghambat perbaikan.

E. Fungsi & Kepadatan Penghuni

  • Bangunan berfungsi sebagai ruang utama ibadah (musala) atau asrama santri — tempat banyak orang berkumpul.

  • Tingginya jumlah santri yang tinggal di dalamnya, terutama jika kapasitas ruang sangat terbatas.

  • Fungsi pengajaran, asrama, ruang makan — jika gedung multifungsi, keamanannya menjadi lebih krusial.

F. Akses Keluar-masuk & Jalur Evakuasi

  • Jalur keluar-masuk bangunan (pintu, tangga, lorong) harus memadai dan lebar untuk evakuasi darurat.

  • Tidak ada hambatan (seperti penutup tembok, ruangan sempit) yang menyulitkan evakuasi cepat.

  • Pencahayaan darurat & ventilasi yang cukup agar dalam kondisi darurat, santri tidak terjebak dalam gelap atau sesak.

G. Kemampuan Pemeliharaan & Pengelolaan

  • Adanya manajemen teknis pesantren yang mampu merawat gedung (pengelola bangunan, ustadz/ustadzah yang paham perawatan).

  • Ketersediaan dana rutin untuk pemeliharaan (cat ulang, perbaikan ringan, pencegahan kebocoran) agar gedung tetap awet setelah diperbaiki.

  • Komitmen pengurus pesantren untuk menjaga kualitas dan keamanan bangunan.

H. Keselamatan & Standar Teknis

  • Perhitungan struktur yang memenuhi standar teknik terkini (beban gempa, beban mati & hidup, faktor keamanan).

  • Material bangunan harus memenuhi standar SNI atau standar teknis nasional.

  • Konstruksi anti-seismik di daerah rawan gempa.

  • Sistem atap yang aman terhadap hujan lebat atau angin, misalnya rangka atap yang kokoh dan atap kedap air.

  • Sistem kelistrikan dan instalasi mekanikal yang aman (hindari kabel terbuka, sistem grounding, pencegahan kebakaran).

I. Prioritas Korban & Riwayat Kejadian

  • Gedung yang pernah mengalami kejadian runtuh sebagian atau peristiwa struktural.

  • Gedung yang dalam kondisi “rawan ambruk” menurut laporan pemeriksaan awal audit.

  • Gedung yang secara historis menjadi pusat kegiatan intensif (santri, salat berjamaah, acara keagamaan) — risiko tinggi bila terjadi bencana.


Tahapan Seleksi & Proses Audit Gedung

Agar kriteria tersebut bisa diterapkan secara sistematik, berikut tahapan proses yang disarankan:

  1. Pendataan & Inventarisasi
    Pemerintah daerah dan Kemenag melakukan pendataan seluruh pesantren di wilayah, termasuk usia bangunan, data struktur, dan riwayat renovasi.

  2. Audit Awal & Verifikasi
    Tim teknis (PU, Bappeda, Kemenag) melakukan audit awal terhadap bangunan yang memenuhi indikator usia, lokasi risiko, kerusakan signifikan.

  3. Penilaian Skor Risiko
    Buat sistem skor penilaian risiko berdasarkan kriteria — misalnya skor total 100, dan gedung dengan skor di atas ambang tertentu diprioritaskan.

  4. Verifikasi Lapangan Mendalam
    Tim struktur sipil turun ke lapangan untuk mengukur, mengambil sampel material, memeriksa fondasi, kolom, sambungan, dan kondisi fisik.

  5. Penetapan Prioritas Perbaikan / Bangunan Ulang
    Gedung dengan skor risiko tinggi akan dijadikan prioritas untuk perbaikan struktural berat atau dibangun ulang.

  6. Penyusunan Desain Teknis & Izin
    Setelah ditetapkan, bangunan diperbaiki berdasarkan desain teknik yang sesuai, dan harus memperoleh izin bangunan (PBG) sebelum konstruksi.

  7. Pelaksanaan Pembangunan / Renovasi
    Kontraktor atau tim teknik yang kompeten dan diawasi secara ketat melaksanakan konstruksi sesuai gambar kerja.

  8. Pengawasan & Pengujian Setelah Jadi
    Uji beban, inspeksi teknis, sertifikasi kelayakan fungsi (SLF) jika berlaku — agar bangunan siap digunakan secara aman.

  9. Pemantauan & Pemeliharaan Rutin
    Setelah selesai, dilakukan pemeliharaan berkala, pemantauan kondisi struktur, serta evaluasi setiap beberapa tahun sekali.


Tantangan & Hambatan yang Harus Diantisipasi

  • Keterbatasan anggaran: banyak pesantren berada di daerah terpencil dengan dana minim — harus ada skema bantuan pusat atau hibah.

  • Kapasitas teknis lokal terbatas: di banyak pesantren tidak ada tenaga yang memahami teknik bangunan atau pemeliharaan struktural.

  • Penolakan terhadap regulasi: sebagian pengurus pesantren bisa enggan mengikuti prosedur izin formal atau perubahan struktur karena alasan tradisi independensi.

  • Koordinasi lintas lembaga: antara Kemenag, Kementerian PUPR, pemerintah daerah, dan dinas teknis harus sinergis agar kriteria dan pelaksanaan konsisten.

  • Distribusi sumber daya: prioritas harus adil antara pesantren kota vs pesantren pedesaan — jangan hanya fokus di wilayah maju.

  • Adaptasi terhadap lingkungan & iklim: di daerah rawan gempa atau cuaca ekstrem, desain harus spesifik dan bukan “satu ukuran cocok untuk semua”.


Studi Kasus: Ponpes Al Khoziny

  • Bangunan pesantren ini diperkirakan berusia 125 tahun saat runtuh.

  • Lokasi bangunan musala berada dalam kompleks asrama dan ruang ibadah, sehingga banyak orang berada pada jam-jam tertentu.

  • Perbaikan kembali harus melalui PBG agar konstruksi memenuhi standar legal.

  • Pemerintah menyatakan akan membangun ulang gedung yang ambruk, bukan hanya sekadar memperbaiki puing-puing.

  • Kejadian ini menjadi pemicu agar pesantren yang usianya tinggi dan rawan segera diaudit.

Kasus ini menjadi contoh nyata kebutuhan kriteria dan prosedur yang jelas agar perbaikan bangunan pesantren di seluruh Indonesia tidak sekadar reaktif, melainkan sistematis dan preventif.


Implikasi & Manfaat Bila Kriteria Diterapkan

  • Peningkatan keselamatan santri dan warga sekitar: risiko kecelakaan bangunan rendah.

  • Penggunaan anggaran lebih efektif: investasi diperuntukkan bagi bangunan yang benar-benar kritis.

  • Mendorong profesionalisme dalam pembangunan pondok: pengurus pesantren akan lebih sadar standar teknis dan regulasi.

  • Meningkatkan kepercayaan publik & stakeholder: pemerintah dan masyarakat dapat mengawasi perbaikan secara transparan.

  • Pencegahan tragedi selanjutnya: kejadian runtuhnya gedung tidak lagi menjadi ancaman berulang.


Kesimpulan & Rekomendasi

Kriteria gedung pesantren yang akan diperbaiki oleh pemerintah perlu dirumuskan secara jelas, menyeluruh, dan operasional. Beberapa poin kunci:

  1. Usia > 100 tahun dan sejarah kerusakan signifikan sebagai indikator awal prioritas.

  2. Kondisi fisik struktural dan lingkungan menjadi tolok ukur teknis.

  3. Legalitas & izin bangunan harus dipenuhi agar pembangunan kembali memiliki legitimasi teknis.

  4. Fungsi ruang dan kepadatan pengguna memengaruhi urgensi prioritas perbaikan.

  5. Manajemen pemeliharaan dan komitmen pesantren penting agar bangunan tetap awet.

  6. Proses seleksi harus melalui audit, verifikasi lapangan, skor risiko, serta desain teknis yang teruji.

Dengan menerapkan kriteria ini, pemerintah tidak hanya memperbaiki bangunan pesantren yang rusak, tetapi juga membangun sistem perlindungan jangka panjang untuk semua pesantren di Indonesia — agar tempat pendidikan keagamaan dapat aman, layak, dan berkelanjutan.

Post Comment